Tampilkan postingan dengan label Informasi Menarik mengenai hewan (Interesting information about animals). Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Informasi Menarik mengenai hewan (Interesting information about animals). Tampilkan semua postingan

Sabtu, 24 Maret 2012

EVOLUSI BISA ULAR

Penelitian terbaru mengenai evolusi bisa ular secara molekuler memberikan bukti gambaran evolusi keseluruhan dimana beberapa bisa berevolusi lebih awal sebagai bentuk adaptasi dan semakin menjadi bisa terspesialisasi kemudian, setelah diversifikasi silsilah ular. Evolusi bisa ular adalah kasus menarik karena bisa berperan ekologis khusus yang kritis bagi kelangsungan hidup. Beberapa silsilah (viper dan elapsid, lihat Gambar 1) telah mengevolusikan sistem pengiriman taring depan dan kelenjar bisa yang lebih besar untuk meningkatkan efektivitas bisa. Kedua silsilah ini mencakup lebih banyak lagi mahluk berbisa yang lebih mengerikan, seperti ular kerincing punggung perak Amerika, taipan Australia dan kobra Afrika. Dengan peran yang dimainkan bisa sekarang pada ekologi dalam dua silsilah ular ini, kapan arsenal bisa berevolusi?

Untuk membingkai masalah pengujian mereka, Fry dan kawan-kawan membuat tiga asumsi utama berdasarkan biologi ular. Pertama, mereka berasumsi kalau arsenal bisa berevolusi umumnya lewat seleksi alam. Analisis mengungkapkan variasi besar dalam komposisi bisa. Bisa ular bukanlah satu kimiawi tunggal namun campuran dari berbagai protein yang menunjukkan keanekaragaman tinggi sepanjang silsilah. Lain bisa lain pula pengaruh yang didapatkan mangsa. Satu set racun dapat sangat efektif pada burung namun tidak efektif sama sekali pada amfibi atau mamalia. Lebih jauh, keberadaan mekanisme fisiologis yang kompleks, teliti dan mahal (dalam hal energi) untuk produksi dan pengiriman bisa menyarankan kalau sifat ini adalah adaptasi untuk menangkap mangsa atau pertahanan. Informasi latar ini tidak menjadikan adaptasi merupakan sesuatu yang pasti, karena untuk memastikan ini diperlukan uji hipotesis adaptif dengan analisa fungsional dan bukti pada ekologi historik, namun ini memang membantu membenarkan penggunaan klaim tersebut sebagai bagian dari argumen pengerangkaan (framing) mereka.


Aspek argumen pengerangkaan evolusi bisa ini memunculkan point umum mengenai pembenaran penarikan pengerangkaan. Asumsi mengenai seleksi alam berasosiasi dengan adaptasionisme, dan dalam program penelitian adaptasionis dibutuhkan sedikit, bila pun ada, pembenaran independen. Bertopang semata pada prinsip metodologis untuk membenarkan penarikan pengerangkaan itu problematis. Asumsi tanpa bukti empiris meragukan keseluruhan kasus, khususnya saat mereka menghapus lawan-lawan yang punya alasan empiris untuk dipertimbangkan. Dalam kasus adaptasi, kita tahu kalau genetika, kendala perkembangan dan lingkungan yang bergejolak dapat menghambat seleksi alam dan karenanya kita tidak dapat membuang begitu saja hipotesis non adaptif tanpa setidaknya beberapa bukti kalau faktor-faktor ini tidak signifikan. Dalam kasus bisa, mereka memiliki dukungan yang mereka butuhkan untuk mengasumsikan adaptasi, dan ahli biologi juga berhati-hati untuk menunjukkan kalau ini adalah asumsi yang tidak mereka uji. Tidak semua prinsip metodologis menjadi tersangka; sebagian memang memiliki perannya dalam sains. Contohnya asumsi matematis yang berperan penting dalam fisika. Keabsahan mereka akan tergantung pada dukungan keseluruhan yang kita miliki untuk memeluk kerangka latar belakang.

Kedua, sebagian karena berlebihnya campuran dan sebagian karena fisiologi keseluruhan ular, biologiwan menganggap bisa sebagai sesuatu yang sangat modular. Ini artinya, perubahan komposisi bisa dapat terjadi tanpa pengaruh penurunan utama pada perkembangan individu. Selain itu, karena keberlebihan arsenalnya, racun bisa dapat berevolusi dengan cepat. Membuang satu komponen campuran bisa biasanya memiliki efek kemunduran yang relatif kecil karena racun lainnya tetap berfungsi secara normal. Lebih tepatnya, Fry berpendapat kalau data barisan memberikan bukti model “lahir dan mati” pada evolusi keluarga gen, kurang lebih sama seperti evolusi MHC pada vertebrata. Menurut model ini, keluarga racun berevolusi dengan cepat lewat peristiwa duplikasi banyak gen. Sebagian besar duplikasi ini menjadi non fungsional karena mutasi dan terbukti dalam genom sebagai pseudogen (kematian gen). Sebagian berevolusi menjadi versi fungsional baru dengan pengaruh racun berbeda pada mangsa, dan karenanya meningkatkan ukuran keluarga racun (kelahiran gen).

Ketiga, mereka berasumsi kalau kalau filogeni klad ular telah tersusun berdasarkan data berbeda dari studi terpisah. Filogeni ini memberikan landasan yang perlu untuk menguji hipotesis mengenai keadaan karakter purba, dan asumsi ini tidak diuji oleh data barisan bisa apapun. Justru, masalah pengujian fokus yang terlibat menggunakan data molekul untuk meletakkan peristiwa-peristiwa evolusioner pada pohon yang ada.

Penarikan kerangka menghapus dua skenario evolusi yang mungkin. Modularitas bisa menghapus hipotesis kendala selektif kuat. Pada evolusi molekuler, kesamaan antara barisan gen atau protein dapat sering dijelaskan oleh kendala (fungsional) selektif. Sebagai contoh, barisan protein Sitokrom C, sebuah enzim yang penting bagi metabolisme sel, menunjukkan kesamaan besar di dunia biologis, dari ragi hingga manusia. Kesamaan ini karena kendala fungsional kuat yang membuat sebagian besar substitusi asam amino potensial bersifat menghapus. Selain itu, banyak substitusi yang terdeteksi pada Sitokrom C adalah sama secara fungsional dan karenanya netral secara efektif.

Filogeni yang diasumsikan menghapus hipotesis homologi asal usul akhir. Cara lain untuk menjelaskan kesamaan barisan memberikan hubungan filogenetik dekat antara spesies. Pada hipotesis ini, gen diajukan sebagai milik leluhur bersama yang baru, dan waktu divergensi yang singkat menjelaskan kesamaan. Banyak senyawa bisa dalam penelitian merupakan milik dari viper dan elapsid, dua silsilah yang memisah jauh di masa lalu. Proses pengerangkaan menyisakan dua hipotesis lawan untuk senyawa bisa yang sama dalam arsenalnya: satu asal usul awal bisa sebelum pemisahan viperelapsid (homologi awal) melawan dua asal usul akhir independen pada tiap silsilah (evolusi konvergen).

Untuk menguji homologi awal melawan evolusi konvergen bisa ular, Fry dan kawan-kawan membandingkan barisan protein berbagai racun bisa sepanjang silsilah ular, dan menyelidiki apakah bisa dapat ditemukan pada silsilah lainnya.

Jarak evolusi – ukuran berapa panjang dua silsilah telah berevolusi secara mandiri – dapat diperkirakan dengan memeriksa perbedaan antara barisan gen atau protein. Bukti hipotesis asal usul bisa mereka bertopang terutama pada data barisan. Sebagai contoh adalah perbandingan barisan satu keluarga racun khusus pada campuran bisa, keluarga “racun tiga jari “ (3FTx). Perbandingan 3FTx memberikan bukti asal usul awal dan evolusi cepat racum lewat dua metode berbeda rekonstruksi filogenetik (parsimoni maksimum dan penyatuan tetangga). Mereka meletakkan titik asal usul segera setelah pemisahan viper, silsilah ular tertua, dan ular lainnya. Sebagai dukungan lebih jauh untuk asal usul awal 3FTx, mereka mengisolasi bisa dari silsilah Colubrinae (dari spesies yang diduga tidak berbisa karena tidak adanya sistem pengiriman terspesialisasi) yang memiliki barisan 3FTx inti yang baik. Pengisolasian barisan 3FTx yang baik dari silsilah ini menunjukkan kalau keluarga 3FTx berasal jauh sebelum sebagian besar pemisahan. Studi yang lebih luas membandingkan berbagai barisan racun. Data barisan memberikan bukti kalau banyak komponen arsenal bisa berevolusi sekali di awal dan sistem pengiriman taring depan terspesialisasi, ditemukan hanya pada beberapa silsilah, berevolusi beberapa kali setelah itu.

Studi-studi ini membandingkan berbagai silsilah ular berbeda untuk menguji hipotesis-hipotesis berlawanan dari homologi versus evolusi konvergen pada beberapa bisa ular. Selain itu, mereka menggunakan beberapa alat statistik berbeda untuk merekonstruksi keadaan karakter purba dari data barisan punah. Ini adalah strategi umum dalam rekonstruksi filogenetik dan menunjukkan kalau ada lebih banyak penarikan statistik daripada menggunakan alat statistik yang “benar”. Penarikan pengerangkaan membatasi ruang kemungkinan. Dalam ruang lawan lokal, berbagai alat statistik memusat, jelas mendukung satu pihak dari pihak lainnya.

Sumber: Faktailmiah.com



MENGURUSKAN CACING GEMUK DAN MENGGEMUKKAN CACING KURUS

Para peneliti di University of California, San Francisco (UCSF), yang mengeksplorasi metabolisme manusia, telah menemukan beberapa senyawa kimia yang mengatur penyimpanan lemak pada cacing. Hal ini menawarkan sebuah tool baru untuk memahami obesitas dan menemukan perawatan masa depan untuk penyakit yang berhubungan dengan obesitas.

Seperti yang dideskripsikan dalam sebuah makalah pada jurnal Nature Chemical Biology, tim UCSF menggunakan pasukan cacing mikroskopis yang disebut C.elegans dan memberikan mereka ribuan senyawa kimia yang berbeda. Dengan memberikan senyawa ini pada cacing, para peneliti mampu membuat mereka kurus atau gemuk tanpa mempengaruhi bagaimana mereka makan, tumbuh, atau bereproduksi.

Penemuan ini memberikan para ilmuwan cara-cara baru untuk menyelidiki metabolisme, dan akhirnya bisa mengarah pada pengembangan obat baru untuk mengatur akumulasi lemak yang berlebihan dan mengatasi masalah metabolik yang mendasari sejumlah besar masalah kesehatan manusia, termasuk obesitas, diabetes dan beberapa jenis kanker.


Karya ini juga mendemonstrasikan nilai “pemindaian cacing” sebagai cara untuk menemukan target baru bagi penyakit manusia, menurut para ilmuwan UCSF, yang pekerjaannya  dipelopori oleh sesama pasca-doktoral George Lemieux, PhD, di laboratorium Profesor Zena Werb, PhD, wakil ketua Departemen Anatomi di UCSF.

Pekerjaan ini adalah kolaborasi yang mengikutsertakan Kaveh Ashrafi, PhD, seorang profesor di Departemen UCSF Fisiologi, dan Roland Bainton, MD, PhD, seorang profesor di  Department of Anesthesia & Perioperative Care UCSF.

Mengapa Worms Menjadi Gemuk?
Ketertarikan tim UCSF pada bagaimana cacing menangani lemak dimulai dengan suatu ketertarikan yang lebih mendasar pada metabolisme manusia. Cacing membuat molekul lemak untuk alasan yang sama dengan manusia – lemak berguna untuk menyimpan energi dan merupakan blok bangunan dasar bagi jaringan tubuh. Banyak gen dan mekanisme cacing yang digunakan untuk mengatur akumulasi lemak memiliki sistem serupa pada manusia, dan tidak semua dari mereka benar-benar dipahami.

Dimulai dengan 3.200 senyawa kimia yang berbeda dan 3.200 kolam cacing kecil, tim UCSF menggunakan pewarna merah yang ditempelkan pada molekul lemak untuk menentukan bahan kimia mana yang membuat cacing gemuk (lebih merah) atau kurus (kurang merah) di bawah mikroskop. Mereka mengidentifikasi beberapa lusinnya, dan melakukan tes tambahan, menyempitkannya hingga sekitar 10 senyawa yang diyakini mengatur metabolisme lemak. Senyawa-senyawa itu bukan hanya mengubah penyimpanan lemak pada cacing namun juga pada serangga dan pertumbuhan sel-sel manusia dalam tabung reaksi, yang membuat Lemieux memberikan komentar bahwa mereka “mungkin berguna untuk memahami metabolisme pada organisme lain.”


Salah satu senyawanya yang memodulasi kompleks molekular disebut sebagai AMP-activated kinase, yang menyensor ketersediaan energi sel. Versi kompleks kinase terdapat pada cacing maupun manusia, dan beberapa di antaranya sudah menjadi target utama untuk desain obat oleh perusahaan farmasi. “Senyawa yang kami peroleh dari pindaian cacing dapat bertindak pada kinase kompleks ini sama halnya jika tidak lebih baik dari apapun yang ada di tempat lain,” kata Ashrafi.

Kekuatan sebenarnya dari pekerjaan ini adalah bahwa ini menunjukkan nilai baru pindaian cacing dengan adanya peralatan pemindai untuk mengidentifikasi gen, protein dan pemain molekul lainnya yang terlibat dalam kesehatan manusia.


Sebagian besar penemuan obat melibatkan identifikasi pemain-pemain ini dan merancang cara untuk mengobati penyakit yang muncul ketika mereka tidak bekerja dengan tepat. Namun mengidentifikasi target hanyalah awal. Merancang obat melibatkan pengatasan daftar panjang rintangan lainnya, kata Ashrafi, dan garis bawahnya adalah bahwa sebagian besar obat potensial yang tampaknya bekerja dengan baik dalam tabung tes telah gagal bekerja pada manusia.

Nilai pindaian cacing memungkinkan para ilmuwan memilih senyawa untuk studi lebih lanjut yang telah bekerja secara efektif dalam seluruh organisme. “Banyak obat yang digunakan dan dikembangkan secara klinis saat ini atau ditemukan pada dasarnya secara kebetulan,” kata Ashrafi. “Jika kita memahami segala sesuatu tentang segala sesuatu, kita mungkin bisa merancang senyawa yang tepat. Namun pada kenyataannya, pemahaman kita pada banyaknya prinsip biologis dan prinsip kimia masih dalam tahap pengembangan.”

Sumber: Faktailmiah.com



UNICORN LAUT JULUKAN BAGI MAMALIA NARWHAL

Narwhal diberi julukan unicorn laut, dengan warna pucat seperti lumba-lumba dapat ditemukan di perairan pesisir pantai Artic atau sungainya. Hewan legendaris ini mempunyai dua gigi. Gigi pejantannya tumbuh lebih menonjol seperti pedang, gading berbentuk spiral ini panjangnya bisa mecapai 8,75 kaki ( 2,7 meter ). Gigi gading ini tumbuh menembus bibir atasnya. Para ilmuan belum tahu secara pasti kegunaan gading ini, tetapi beberapa percaya gigi ini digunakan untuk ritual perkawinan, mungkin untuk menarik perhatian sang betina atau untuk mengusir saingan lain dalam memperebutkan betina. Betina kadang menumbuhkan gading kecil sesuai keinginan mereka, tetapi tidak menonjol seperti pejantannya.

Narwhal masih berkerabat dengan lumba-lumba hidung botol, paus beluga, lumba-lumba pelabuhan dan paus pembunuh. Seperti lumba-lumba lainya, mereka berpergian dalam kelompok dan memakan ikan, udang, cumi-cumi dan makanan laut lainya. Mereka sering terlihat berenang dalam group yang berjumlah 15 sampai 20 ekor, tetapi perkumpulan dalam jumlah ratusan bahkan ribuan pernah dilaporkan. Kadang kelompok ini terjebak oleh bongkahan es yang berjatuhan dan menjadi korban pemburu yang tidak bertanggung jawab, beruang kutub atau singa laut.


Narwhal atau Monodon monoceros merupakan paus tanduk dari kutub utara. Jenis paus tanduk ini, paling tidak di ketahui oleh manusia dan dalam bahasa Norse Kuno, nama “narwhal” memiliki arti “paus mayat” karena kebiasaannya yang kadang-kadang berenang tak bergerak di permukaan laut dengan posisi perut menghadap ke atas dan warna tubuhnya yang bertotol-totol kelabu seperti pelaut yg tenggelam. Narwhal di ketahui hanya hidup di seluruh perairan Kutub Utara, tepatnya di Samudera Arktik dengan memakan hewan-hewan laut seperti ikan, udang, atau cumi-cumi.

Narwhal memiliki tanduk spiral yang berfungsi sebagai sensor raksasa yang membantunya mengetahui kualitas air dan untuk “mencium” narwhal lainnya. Panjang tanduk paus narwhal bisa mencapai 2,4 meter, tanduk ini telah sejak lama menjadi teka-teki para ahli alam dan pemburu. Penjelasan mengenai fungsinya pun seringkali menimbulkan perdebatan, begitu kata Dr. Martin Nweeia, seorang peneliti Harvard School of Dental Medicine. Menurut Nweeia, tanduk tersebut sepertinya memiliki kemampuan penginderaan hidrodinamik. Ia mengungkapkan hal ini dalam prsentasi di Konferensi mengenai Biologi Mamalia Laut di San Diego.


Narwhal adalah sejenis paus yang termasuk sangat langka. Panjang tubuhnya mencapai 4 hingga 4,5 meter, dan kebanyakan dijumpai di perairan lautan Artik sekitar Kanada, tapi kadang juga terlihat jauh ke timur hingga Rusia.

Orang-orang yang tidak bertanggung jawab memburu narwal untuk gading meraka yang panjang dan kulitnya, juga sebagai sumber vitamin C yang penting dalam pola makan masyarakat Artic tradisional. Paus pembunuh juga memangsa narwhal di perairan terbuka. Ilmuwan kini berupaya melacak hewan ini untuk mempelajari hewan ini lebih lanjut guna mengetahui mengapa populasinya terus menurun.


“Meski kami berupaya keras lebih memahami narwhal selama tujuh atau delapan tahun terakhir, cara memasang radio satelit pada hewan ini baru saja ditemukan dan kita akan mengetahui tempat mereka pergi dan makan,” papar spesialis spesies Arktik Pete Ewins dari WWF. Dari data yang diperoleh, para ilmuwan mengaku akan menggunakannya untuk mengetahui ketebalan es Arktik mempengaruhi perilaku mereka.

Selasa, 20 Maret 2012

PERILAKU SIMPANSE MIRIP DENGAN MANUSIA SAAT BERMAIN

Dalam membandingkan perilaku-perilaku ini dengan studi sebelumnya yang dilakukan pada manusia, mereka menemukan bahwa kedua spesies ini menunjukkan perkembangan kuantitatif dan kualitatif yang signifikan dalam perilaku bermain dari bayi sampai usia muda.

Perilaku bermain tersebar luas pada mamalia, dan memiliki konsekuensi bagi perkembangan yang penting. Sebuah studi baru pada simpanse muda menunjukkan bahwa hewan ini bermain dan mengembangkan banyak cara yang sama seperti anak-anak manusia.

Studi ini, yang dipublikasikan dalam edisi 16 November jurnal PLoS ONE, dengan demikian dapat pula menjelaskan tentang peran perilaku bermain pada manusia. Para penulis studi ini, Elisabetta Palagi dan Giada Cordoni, dari Universitas Pisa di Italia, menemukan bahwa simpanse bermain soliter puncaknya pada masa bayi, sedangkan waktu yang dihabiskan dalam bermain sosial relatif konstan antara masa bayi dan remaja. Namun, jenis permainan sosial sedikit berubah seiring pertumbuhannya, dalam hal langkah-langkah seperti pilihan kompleksitas dan teman bermainnya. Dalam membandingkan perilaku-perilaku ini dengan studi sebelumnya yang dilakukan pada manusia, mereka menemukan bahwa kedua spesies ini menunjukkan perkembangan kuantitatif dan kualitatif yang signifikan dalam perilaku bermain dari bayi sampai usia muda.


Selain itu, baik simpanse dan manusia secara konsisten menggunakan ekspresi wajah yang menyenangkan untuk berkomunikasi dan membangun jaringan sosial. Mereka juga menganalisis pilihan teman bermain dan menemukan bahwa baik manusia maupun simpanse lebih memilih rekan-rekan untuk mitra bermain. Dr. Palagi menjelaskan bahwa ini adalah penelitian pertama yang membandingkan ontogeni perilaku bermain pada simpanse dengan manusia, dalam cara yang standar. Hal ini penting, karena jenis ini pada data manusia seringkali berasal dari penelitian psikologis, bukan dari penelitian etologis.

Sumber: Faktailmiah.com

Senin, 19 Maret 2012

IKAN MENGGUNAKAN ALAT UNTUK MENGHANCURKAN KERANG

Video pertama penggunaan alat oleh ikan telah dipublikasikan dalam jurnal Coral Reefs oleh Giacomo Bernardi, profesor ekologi dan biologi evolusi di University of California, Santa Cruz.

Dalam video tersebut, seekor tuskfish berbintik oranye tengah menggali pasir dan mengeluarkan kerang dari dalamnya, membawa kerang itu ke sebuah batu, lalu berulang kali melempar kerang ke arah batu untuk menghancurkannya. Bernardi merekam kejadian tersebut di Palau pada tahun 2009.

“Apa yang ditunjukkan film ini sangatlah menarik. Hewan ini menggali pasir untuk mendapatkan kerang, kemudian berenang dalam waktu yang lama untuk menemukan daerah yang tepat di mana ia bisa meretakkan kerang itu,” kata Bernardi. “Ini membutuhkan banyak pemikiran ke depan, karena terdapat sejumlah langkah yang terlibat. Bagi seekor ikan, itu adalah urusan yang cukup besar.”

Aksi yang terekam dalam video ini sangat mirip dengan laporan sebelumnya tentang penggunaan alat oleh ikan. Setiap kasus melibatkan spesies wrasse dalam menggunakan batu sebagai landasan untuk menghancurkan kerang. Laporan yang dipublikasikan dalam Coral Reefs ini termasuk foto-foto perilaku pada tuskfish berbintik hitam di Great Barrier Reef, Australia. Bernardi pertama kali mendengar fenomena tersebut pada tahun 1994, ketika seorang rekan (Yakobus Coyer) mengamati wrasse berkepala kuning di Florida melakukan hal yang sama. Perilaku serupa juga dilaporkan pada wrasse bergaris enam dalam suasana akuarium. “Wrasse adalah hewan yang sangat ingin tahu,” kata Bernardi. “Mereka semua karnivora, dan mereka sangat sensitif terhadap bau dan penglihatan.”


Wrasse adalah salah satu keluarga ikan laut terbesar dan paling beragam. Bernardi mencatat bahwa beberapa spesies yang terobservasi menggunakan peralatan tidak berelasi erat satu sama lain, namun mencakup berbagai sejarah evolusi dalam keluarga wrasse. “Mereka berada pada ujung-ujung pohon filogenetik, jadi ini mungkin merupakan sifat perilaku yang mendalam pada semua wrasse,” katanya.

Penggunaan alat pernah dianggap sebagai sifat eksklusif manusia, dan laporan Jane Goodall tentang penggunaan alat pada simpanse di tahun 1960 hadir sebagai wahyu yang menakjubkan. Sejak saat itu, banyak hewan lain yang telah terobservasi menggunakan alat, termasuk berbagai primata, beberapa jenis burung, lumba-lumba, gajah, dan hewan-hewan lainnya.

Bernardi, yang mempelajari genetika ikan, mengatakan mungkin ada contoh lain penggunaan alat pada ikan yang belum terobservasi. “Kami tidak menghabiskan banyak waktu untuk mengamati ikan di bawah air,” katanya. “Mungkin semua wrasse melakukannya. Ini terjadi sangat cepat, sehingga sulit sekali menemukannya.”

 Sumber: Faktailmiah.com