Sabtu, 16 Juni 2012

BELAJAR SILSILAH MARGA di SUMATERA UTARA yuk…

Si Raja Batak adalah leluhur yang menurunkan marga-marga. Marga adalah identitas Batak yang paling umum diketahui. Kiranya nyaris tidak ada orang Batak yang malu memakai marganya sebagai identitasnya. Marga mengartikan hubungan darah (genealogis) yang sama dan mempunyai leluhur yang sama berdasarkan garis keturunan pancar laki-laki (patrilini). Orang Batak selalu memelihara silsilah (tarombo) dan dapat menelusuri leluhurnya mungkin sampai belasan generasi sampai kepada leluhur yang sama yang disebut Si Raja Batak. Tradisi bersilsilah ini diwariskan secara lisan turun temurun. Perlu dicatat bahwa Si Raja Batak secara historis tidak mungkin satu person, satu orang saja, tetapi beberapa orang. Kelompok orang ini adalah pelopor yang membangun suatu sistem sosial dan hidup di Sianjur mula-mula, Samosir, dikaki bukit menghadap gunung keramat Pusuk Buhit. Si Raja Batak hendaknya dimengerti sebagai tokoh hipotetis. Disini harus dibedakan antara silsilah yang historis dan silsilah mitos.

Disebutkan dalam turi-turian (legenda/mitos) Si Raja Batak memiliki dua anak, Guru Tatea Bulan (Ilontungan) dan Raja Isumbaon (Sumba). Inilah dua belahan besar silsilah asal marga-marga. Guru Tatea Bulan mempunyai 5 anak dan 4 puteri. Anak lelaki adalah, Raja Biak-biak, Sariburaja, Limbongmulana, Sagalaraja dan Malauraja. Si anak sulung, Raja Biak-biak yang juga dalam silsilah mitos disebut Raja Uti lalu gaib ke langit barat-ke Barus.
Sariburaja dikisahkan berhubungan terlarang dengan Borupareme, saudaranya sendiri (incest) sehingga diusir adik-adiknya harus angkat kaki jauh meninggalkan Sianjur Mula-mula. Boru Pareme yang hanya mengandung satu bulan lalu melahirkan anak dari hasil incest ialah Raja Lontung, memakai nama kakeknya Ilontungan, tetap tinggal . Keturunan Raja Lontung adalah berturut-turut Situmorang, Sinaga, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Siregar, Aritonang yang menjadi nama-nama marga. Dicatat dalam sejarah silsilah, kelompok marga Simatupang, Siregar dan Aritonang membuka lahan baru, migrasi dari Samosir ke Muara. Kelompok belahan besar Lontung yang dalam perkembangan percaturan Toba lama membentuk solidaritas bersama dalam kelompok Tatea Bulan atau kelompok Lontung.

Raja Isumbaon (Raja Sumba) sebagai belahan besar kedua dari si Raja Batak menurunkan 3 putra, Sorimangaraja, Raja Asi-asi dan Sangkarsomalidang. Raja Asi-asi dan Sangkarsomalidang diriwayatkan pergi ke tano Jau dan selanjutnya tidak disebut silsilahnya. Sorimangaraja beristri 3 yaitu Tuan Nai Ambaton, Nai Rasaon dan Nai Suanon. Dari Nai Ambaton melahirkan marga-marga Simbolon, Munte, Tambatua, Saragitua, Sianahampung, Haro, beserta cabang-cabangnya. Dari Nai Rasaon adalah marga-marga Purba, Tanjung, Mangareak (Manurung), Sitorus (Sitorus, Sirait, Butar-butar). Kemudian Nai Suanon melahirkan Tuan Sorbadibanua dan Raja Tunggul. Tuan Sorbadibanua melahirkan dua kelompok marga besar dari dua isteri yaitu dari istri pertama Nai Antingmalela dan kedua Boru Sibasopaet. Dari Nai Antingmalela dilahirkan kelompok-kelompok marga Sibagot ni Pohan, Sipaettua, Silahisabungan dan Si Raja Oloan dan Raja Hutalima, sedang dari Boru Sibasopaet diturunkan kelompok marga Raja Sobu, Raja Sumba (Tuan Sumirham) dan Naipospos.

Kedua kelompok diatas berikutnya migrasi keluar desa asal Sianjur Mula-mula selanjutnya masing-masing mengklaim kedaulatan teritorialnya. Penentuan batas kekuasaan dan kedaulatan tampak pada peta kedudukan marga-marga sekarang ini di wilayah daratan pulau di tengah danau, Pulau Samosir. Sebenarnya sebutan pulau Samosir kita kenal karena disebut demikian oleh Belanda sejak tahun 1908, nama yang mengambil nama desa di ujung pulau. Dalam peta kolonial sebelumnya malah menyebutnya Pulo Toba, sedang peta Toba lama tidak ada penamaan demikian. Dahulu orang dari pantai danau sebelah utara misalnya di Haranggaol akan memanggilnya Tano ni Sumba (Tanah milik Sumba), sedang orang di selatan danau, misalnya di Muara mengenal daratan di tengah sebagi Tano ni Lontung (Tanah milik Lontung). Hal ini tidak aneh karena memang Samosir dihuni kedua kelompok masing-masing di Samosir utara oleh kelompok Sumba dan Lontung di Samosir selatan. Ada garis pembagi imajiner membujur dari timur ke barat ialah titik dari timur (selatan Tomok) ditarik garis lurus ke barat ke suatu titik di Palipi. Inilah migrasi pertama, yang selanjutnya dibawah bendera masing-masing bergerak lagi ke seluruh Toba, memperluas wilayah kedaulatan, bersaing untuk memperkuat pengaruh. Wilayah Sumba ialah yang terluas tanah pertaniannya dan paling banyak penduduknya. Sumba menguasai 3/5 dari seluruh wilayah Toba, mencakup Pulau Samosir Utara (kecuali Limbong-Sagala dan Harian), lembah-lembah pantai Barat danau, Toba Holbung, dataran tinggi Humbang, Silindung dan sekitarnya. Di pihak lain Lontung mengibarkan panji di Samosir selatan, ke lembah Muara dan Pulau Sibandang yang diapit dua lembah kekuasaan Sumba (lembah Bakkara dan Meat), bahkan sampai ke Sipirok.

Keturunan dari Tatea Bulan yang disebut dimuka tinggal di Limbong, Sianjur mula-mula ialah Limbongmulana, Sagalaraja dan Malauraja melahirkan marga Limbong, Sagala , Malau dan marga-marga turunannya yang selanjutnya juga bermigrasi ke luar dari lembah Limbong. Mereka kelompok kecil dibanding dengan Lontung dan Sumba, meski demikian punya klaim khusus tertentu karena wilayahnya adalah asal mula Si Raja Batak di lembah Limbong Sagala di kaki bukit keramat Pusuk Buhit.
Dalam perantauan Sariburaja kawin dengan Nai Mangiringlaut dan melahirkan anak yaitu Si Raja Borbor. Raja Borbor menurunkan marga-marga Pongpang Balasaribu yaitu Pasaribu, Harahap, Tanjung, Pulungan, Lubis, Rambe dll. Kelompok Borbor ini kebanyakan bermukim ke arah Barat, ke Barus, juga ke Angkola Mandailing. Borbor erat kaitannya dengan kronik silsilah Raja-raja Barus.
By: eko“kodok"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar